GERIMIS di Jumat (27/7/2018) pagi membasahi permukaan jalan hotmix yang mulus itu. Jalur yang kami lintasi ini adalah jalan nasional yang baru dibangun. Persisnya Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) penghubung Desa Rampah, Kecamatan Sitahuis ke Poriaha, Kecamatan Tapian Nauli, di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Catatan: Marihot Simamora
Bersama dua rekan jurnalis, kami berangkat dari Kota Sibolga dengan mengendarai mobil pribadi. Misinya membuktikan apakah benar jalur lintas barat (bagian dari Jalinsum Tarutung-Sibolga) itu sudah bisa dilewati dengan nyaman.
Animo pembuktian itu kuat karena pembukaan jalan ini sebenarnya sudah sejak beberapa tahun lalu digagasi oleh pemerintah daerah setempat. Setelah direstui oleh pemerintah pusat, tetapi kemudian pengerjaannya tersendat-sendat karena polemik pembebasan lahan, khususnya di wilayah Poriaha, Desa Tapian Nauli II.
Sekedar informasi, proyek jalan ini ditangani Satker PPK 12 BBPJN Sumatera Utara Kementerian PU. Pada tahap awal didanai oleh APBN secara multiyears. Belakangan lanjutannya ditopang oleh dana bantuan program WINRIP, kerjasama pemerintah RI dengan World Bank (Bank Dunia).
Selain itu, pembukaan jalan ini juga merupakan solusi dari sulitnya truk-truk berbadan besar melewati terowongan sempit Batu Lobang pada Jalinsum Tarutung-Sibolga, di Simaninggir, Kecamatan Sitahuis.
Jalur ini pun akan mempermudah akses transportasi umum dari wilayah Barus sekitarnya ke arah Kota Medan (lintas barat). Serta terkoneksi ke jalan menuju kawasan industri PLTU Labuan Angin.
Sekitar pukul 09.00 WIB kami masuk dari simpang/arah Poriaha. Simpang ini hanya sekitar 9 km dari Kota Sibolga. Belok kanan dari Jalinsum Sibolga-Barus.
Plank larangan melintas karena ada pekerjaan proyek jalan yang dipajang di simpang perempatannya malah menambah rasa penasaran. Jadi kami hiraukan saja dengan pemikiran putar balik sampai dimana jalan yang dapat dilewati.
Persimpangan itu cukup lebar dan mulus. Lebar jalannya sekitar 20 meter. Beberapa ratus meter kemudian lebar jalannya mulai mengecil, antara 6-10 meter.
Dilihat dari batu penanda yang dipancang di tepi jalan, panjang jalan dari Poriaha ke Rampah sekitar 18 km. Berarti kalau dari Kota Sibolga (via Poriaha) totalnya menjadi 27 km. Sementara kalau dari Kota Sibolga ke Rampah (langsung) hanya 15 km.
Sepanjang jalan hingga ke km 10 kondisi aspalnya sangat mulus. Ada juga berapa jembatan. Tapi marka dan rambu jalannya tampak masih terpasang hingga ke km 7. Dan masih ada bagian yang tak dibangun parit beton, serta lampu penerangan jalannya masih sangat minim.
Sementara itu di km 8 terlihat masih ada pekerjaan pelebaran dan pengaspalan jalan oleh kontraktornya PT Nusa Konstruksi Engineering (NKE).
Umumnya elepasi kelok-kelokan pada jalur ini tak setajam pada jalur langsung Rampah-Sibolga. Dan, lebih banyak jalan lurusnya serta lebih minim jurang.
Tapi untuk kondisi medannya, tetap membelah perbukitan yang otomatis menciptakan tanjakan dan turunan. Yang paling riskan pada kelokan ganda di km 9.
Manik (50-an), seorang sopir truk tronton yang kami wawancarai mengaku lebih nyaman melintasi jalur tersebut. Karena kondisi jalan lebih mulus, meskipun terdapat tanjakan dan turunan yang menantang.
“Kalau kondisi kendaraan dibawah 60 persen, saya rasa berbahaya kalau lewat sini,” ucap pria yang hendak ke Kota Sibolga itu.
Dia juga mengatakan, meski selisih waktu tempuh lebih lama 30 menit (dibandingkan langsung Rampah-Sibolga), namun tingkat keausan ban lebih rendah.
“Karena jalur ini kebanyakan lurusnya,” kata sopir yang baru dua kali melintasi jalur tersebut.
Terpisah, sopir truk gandeng bermuatan alat berat, Hutagalung (30-an), mengaku baru pertama sekali melewati jalur baru ini. Alat berat yang dibawanya itu dari Medan menuju Barus.
“Ini aku baru pertama lewat sini. Cuma memang sebelumnya sudah tanya-tanya info dari Medan. Karena operator alat berat gak ikut, jadi gak mungkin lewat dari Batu Lobang,” kata pria berambut pirang itu.
Dia juga mengakui kalau beberapa tanjakan panjang pada jalur ini cukup menantang. “Kalau armada kita gak fit 80 persen, janganlah,” sebutnya.
Sebagai jalan yang belum diresmikan, jalan lintas Rampah-Poriaha memang masih sepi. Di sisi kiri kanan jalan didominasi area perkebunan karet rakyat, hutan, lahan tidur, dan beberapa titik pemecah batu tradisional. Mendekati Desa Rampah, barulah lebih sering didapati rumah penduduk.
Selain itu, belum ada bengkel atau pun tambal ban yang memadai. Begitu juga rumah makan yang sekaligus dapat menjadi “rest area”. Yang ada hanya warung-warung kecil.
Akhirnya perjalanan kami hari itu tembus ke Rampah dalam waktu sekitar 35 menit dengan kecepatan rata-rata 40 km per jam. Semoga mulusnya Jalan Rampah-Poriaha dapat memperkuat simpul kawasan ekonomi lintas barat. (snt)