‘Mamogang’ Tradisi Sambut Bulan Suci Ramadhan di Tapanuli Tengah

mamogang
Mamogang Tradi Warga di Barus, Tapanuli Tengah Menyambut Bulan Suci Ramadhan. (Foto: Istimewa)

SmartNews, Barus – Setiap menyambut datangnya Bulan Suci Ramadhan, warga di Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumatera Utara (Sumut) melaksanakan tradisi ‘Mamogang’.

Tradisi tersebut pun dilaksanakan warga Barus, dua hari memasuki Bulan Suci Ramadhan 1440 Hijriah, Sabtu (4/5/2019) , di pinggiran Sungai Aek Sirahar di Desa Kampung Mudik.

Bacaan Lainnya

Ratusan warga menghadiri acara memagong yang dimulai sejak subuh.

“Kegiatan Mamogang ini merupakan tradisi warga Barus dalam menyambut masuknya Bulan Suci Ramadhan. Tradisi ini sudah dilaksanakan sejak turun temurun sejak zaman nenek moyang kita,” ujar Zuardi Simanullang.

Zuardi menyebut, di acara mamogang ini, sedikitnya 20 ekor kerbau disembelih. Dagingnya habis terjual seharga Rp150 ribu per kilogram.

Di lokasi yang sama, ada juga para ibu-ibu membuka lapak menjual bumbu dapur lengkap. Selain itu, beranekaragam dedaunan beraroma harum (Limau) yang laris manis terjual.

Limau ini sendiri akan digunakan untuk acara Balimau-limau sehari sebelum memasuki Bulan Suci Ramadhan.

Pantauan wartawan di lokasi mamogang, suasana kekeluargaan satu dengan yang lainnya terlihat akrab. Tidak saja kaum muslimin yang hadir di acara ini. Tetapi juga yang menganut agama lain. Mereka berbaur, saling sapa, bergembira ria, dan bersilaturrahim.

“Sehingga terlihat dengan jelas situasi tersebut membawa dampak positif bagi kerukunan umat beragama di kota tua Barus cukup kompak. Rasa persaudaraan dan keakraban membuat suasana mamogang lebih bermakna,” pungkas Zuardi.

Sebagaimana melansir harian.analisadaily.com, tradisi budaya Mamogang dilaksanakan menjelang masuknya bulan puasa Ramadhan.

Bagi masyarakat Kabupaten Tapanuli Tengah dan Sibolga sejak subuh sehari sebelum bulan puasa Ramadhan melakukan Mamogang yakni menyembelih hewan kerbau di tanah lapang di tepi sungai.

Daging hewan kerbau itu dahulunya dimiliki secara berkelompok dan ketika hewan kerbau itu disembelih, maka dibagi-bagikan dagingnya kepada anggota kelompok yang memiliki hewan kerbau itu. Biasanya anggota kelompok pemilik hewan kerbau berkenan pula membagi-bagikannya kepada mereka yang tidak masuk dalam kelompok pemilik hewan kerbau itu.

Berbeda dengan sekarang, hewan kerbau yang dijadikan sebagai tradisi budaya Mamogang sudah menjadi milik pedagang hewan. Hewan kerbau itu tetap disembelih di tanah lapang pada waktu subuh.

Hewan kerbau yang disembelih milik pedagang hewan itu kemudian dijual dengan harga per kilogram. Terserah kepada calon pembeli mau membeli berapa kilogram daging kerbau itu, sudah seperti membeli daging kerbau di pasar daging.

Bedanya tradisi budaya Mamogang hewan kerbau yang dijual itu langsung disembelih di lokasi penjualan.

Dahulu masyarakat yang ekonominya baik bisanya memiliki satu ekor hewan kerbau untuk dijadikan tradisi budaya Mamogang dan bagi masyarakat yang ekonomi kelas menengah biasanya memiliki satu ekor hewan kerbau secara bersama-sama beberapa orang untuk dijadikan tradisi budaya Mamogang.

Daging kerbau yang dimiliki masyarakat dengan ekonomi baik dan menengah akan membagi-bagikan kepada masyarakat yang ekonominya pas-pasan dan yang kurang mampu.

Kini ketika hewan kerbau yang dijadikan tradisi budaya Mamogang milik pedagang hewan biasanya masyarakat yang ekonominya baik akan membeli daging hewan kerbau dalam jumlah banyak dan akan dibagi-bagikan kepada sanak keluarganya yang kurang mampu.

Bagi masyarakat yang ekonomi menengah akan membeli sekadarnya saja untuk dikonsumsi keluarganya saja dan bagi masyarakat yang kurang mampu biasanya menanti dari keluarga yang ekonominya baik.

Daging hewan kerbau yang dahulu dibagi-bagikan itu kemudian dibawa pulang ke rumah masing-masing. Begitu juga dengan kini hewan kerbau yang dibeli dari pedagang hewan dibawa pulang ke rumah masing-masing untuk dimasak menjadi gulai yang disantap ketika makan Sahur malam pertama pada bulan puasa Ramadhan.

Ada yang memasak daging hewan kerbau itu menjadi gulai kari, ada yang memasak menjadi rendang dan beragam masakan lainnya.

Tradisi budaya Mamogang hampir sama dengan tradisi budaya Malopeh. Bedanya tradisi budaya Mamogang dilaksanakan sehari sebelum masuk bulan puasa Ramadhan, tapi tradisi budaya Malopeh dilaksanakan sehari sebelum habis bulan puasa Ramadhan atau sehari sebelum masuk Hari Raya Idul Fitri.

Bedanya lagi tradisi budaya Mamogang dengan tradisi budaya Malopeh, pada tradisi budaya Malopeh disertai dengan memasak Lemang Pulut sebagai teman makan dari daging hewan kerbau yang sudah dimasak menjadi gulai atau rendang.

Sama dengan tradisi budaya Mamogang pada tradisi budaya Malopeh juga daging hewan kerbau baru selesai dimasak pada sore hari. Bedanya, kalau tradisi budaya Mamogang dimakan sewaktu malam pertama makan Sahur.

Tradisi budaya Malopeh daging hewan kerbau yang selesai dimasak sore hari dimakan sewaktu berbuka puasa pada hari terakhir puasa bulan Ramadhan atau ketika Malam Takbiran Hari Raya Idul Fitri. (snt)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *