Sibolga – Ketua Asosiasi Nelayan Sibolga-Tapteng (Anesta) dan Persatuan Pekerja Kapal Ikan (Perkalin) Sibolga-Tapteng Binner Siahaan menolak dengan tegas kehadiran kapal perang milik TNI AL yang telah melakukan penangkapan kapal-kapal nelayan Sibolga dan Tapteng.
Sektor perikanan merupakan urat nadi perekonomian di Kota Sibolga dan Kabupaten Tapteng. Kalau semua kapal nelayan ditangkapi, niscaya sektor perikanan ini akan kembali lumpuh.
“Hal ini sudah pernah disampaikan Walikota Sibolga Syarfi Hutauruk kepada Anggota DPD RI Parlindungan Purba dan Dirjen Perikanan Tangkap Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) R Sjarief Widjaja dalam pertemuan bersama nelayan Sibolga-Tapteng, pada, Senin (12/3) yang lalu,” ujar Binner Siahaan dalam siaran persnya di Sibolga, Rabu, 2 Mei 2018.
Lanjut Binner, pada pertemuan tersebut, Walikota Sibolga berharap kepada Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI untuk dapat mengembalikan kejayaan Kota Sibolga menjadi “Kota Ikan”.
“Paska pertemuan tersebut, kita pun langsung menyurati Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI. Isinya memohon dispensasi/toleransi agar operasional alat tangkap ikan (hela) boleh digunakan sementara di Sibolga dan Tapteng sebagaimana berlaku di Jawa Tengah dan Pantura, namun sampai saat ini belum ada jawaban,” kata Binner.
Saat ini, total pekerja kapal yang tergabung di Anesta dan Perkalin mencapai 400 KK, dan secara total keseluruhan ada 5.000 KK yang aktifitas pekerjaannya terlibat langsung dengan kapal ikan ini.
Dia sangat menyesalkan penangkapan kapal nelayan Sibolga dan Tapteng oleh KRI milik TNI AL yang lalu lalang di perairan Pantai Barat, sebab nelayan ini hanya mempertahankan hidup keluarga dan membiayai sekolah anak-anaknya.
“Kita bukannya tidak taat peraturan, tetapi harus dibarengi solusi sebagaimana dijanjikan pemerintah. Sejak pemberlakuan Permen KP 02/2015 sebagaimana dirubah menjadi Permen KP 71/2016. Kehidupan nelayan Sibolga dan Tapteng khususnya yang menggunakan pukat hela sangat terpuruk,” tegasnya.
Kalau mau jujur, alat tangkap yang dapat digunakan di wilayah perairan Pantai Barat Sumut ini adalah jenis pukat hela sesuai kondisi perairan.
“Sangat kecil kemungkinan bila dikatakan pukat hela ini merusak ekosistem laut, karena masih banyak jenis alat tangkap lain yang perlu dikaji pemerintah yang bisa merusak ekosistem laut,” imbuhnya.
Bahkan, paska pertemuan dengan Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI, hingga saat belum ada pengganti alat tangkap ikan seperti yang dijanjikan oleh pemerintah kepada masyarakat nelayan Sibolga dan Tapteng.
“Untuk merubah alat tangkap ikan butuh biaya besar hingga miliaran rupiah dan waktu yang dibutuhkan pun cukup lama juga. Maka itu, kami sangat menyesalkan kehadiran KRI yang menangkapi kapal nelayan Sibolga-Tapteng ini,” tutur Binner.
Seharusnya kapal perang KRI milik TNI AL ini menjaga perbatasan NKRI, sekalipun diperbolehkan untuk menangkap kapal ikan, namun harusnya ada toleransi dari pihak KRI, sehubungan surat permohonan dispensasi (kelonggaran) beroperasi kapal hela belum terjawab oleh Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI.
Artinya, saat ini nelayan yang terimbas Permen KP 71/2016 masih dalam pembinaan Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI sesuai hasil pertemuan dengan nelayan Sibolga-Tapteng bersama instansi yang terkait pada 12 Maret silam.
“Saat ini pun para pengusaha di Sibolga dan Tapteng masih menyusun format rencana bisnis (bussines plant) untuk pengusaha kapal ikan yang terimbas Permen KP sebagaimana yang ditawarkan Dirjen Perikanan Tangkap KKP RI,” imbuhnya. (ril_snt)