SmartNews, Tapanuli – Saat pandemi Corona (Covid-19) ada sebanyak 3.229 duda baru di Blitar.
Duda sebanyak itu kehilangan pasangan tahun 2020. Kasusnya rata-rata disebabkan oleh faktor penghasilan sang suami lebih rendah dari si istri.
Merujuk data dari Pengadilan Agama (PA) Blitar, angka ini tercatat sejak Januari hingga Agustus 2020.
Rinciannya, sebanyak 1.953 gugat cerai yang diajukan istri dan 732 talak cerai yang diajukan suami.
Kepada wartawan, Humas PA Blitar, Nur Kholis mengungkapkan, angka perceraian sempat menurun saat awal wabah virus Corona melanda.
Itu terjadi mulai bulan Maret, April dan turun drastis pada bulan Mei 2020. “Rata-rata permohonan cerai yang kami terima per bulan itu sebanyak 400 kasus. Namun sejak pandemi turun menjadi 300 kasus, bahkan pada Mei itu hanya 154 kasus,” tutur Nur Kholis di kantornya Jalan Imam Bonjol Kota Blitar, Senin (7/8/2020) dilansir detikcom.
Menanggapi hal ini, PA Blitar memberi perhatian khusus, sebab perbandingan kasus yang sangat tinggi antara gugat cerai dan talak cerai.
Fenomena angka gugat cerai selalu lebih tinggi, terdeteksi sejak tahun 2015. Dengan alasan ekonomi menjadi faktor utama para istri menggugat cerai suaminya.
“Iya, istri gugat cerai cenderung makin lebih banyak. Alasan mereka karena perselisihan. Nah berselisihnya ini kebanyakan karena penghasilan suami jauh lebih rendah, perselingkuhan dan lainnya. Tapi yang faktor utama perselisihan memang ekonomi,” jelas dia.
Angka perceraian di Blitar memang mengalami fluktuasi. Pada tahun 2018 tercatat sejak bulan Januari sampai September ada 4.203 kasus.
Angka ini menurun tajam pada tahun 2019, di mana sejak Januari sampai September tercatat hanya ada 3.255 kasus. Dan stagnan di angka 3.229 kasus di tahun 2020.
Akan tetapi ada yang berubah pada pemohon yang mengajukan gugatan maupun talak cerai. Dan bila pada tahun-tahun sebelumnya, para Pekerja Migran Indonesia (PMI) mendominasi hingga 80 persen dari jumlah pemohon.
Maka di tahun 2020 ini mengalami penurunan, hanya sekitar 40 persen. “Tahun 2020 ini prosentase pemohon yang PMI atau TKI turun. Hanya sekitar 40 persen. Yang terbanyak dari kalangan swasta sebanyak 50 persen dan dari PNS juga ada 10 persen,” Nur Kholis menambahkan. (red)