SmartNews, Tapanuli – Hiruk-pikuk politik jelang pesta demokrasi Tahun 2020, Pilkada kotak kosong menjadi trending topik di tengah para politisi dan kalangan masyarakat. Tidak terkecuali di Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatera Utara.
Pilkada kotak kosong menjadi pembahasan menarik hingga mencuri perhatian para tokoh agama di daerah itu.
Tokoh agama menilai, jika Pilkada atau demokrasi kotak kosong terjadi di Humbahas, berarti demokrasi sudah terciderai dan tidak dapat dirasakan dan dinikmati masyarakat.
“Pilkada melawan kotak kosong itu kurang edukatif. Yang kita inginkan bagaimana proses demokrasi itu berjalan dengan baik dan sehat serta apa adanya tanpa ada rekayasa. Artinya bukan menjelek-jelekkan atau mencampuri politik. Biarlah mengalir dan jangan kita lihat Humbang ini hanya sebatas di Pilkada-nya. Namun mari kita lihat dampaknya ke depan,” kata Praeses HKBP Distrik III Renova J Sitorus, dalam sebuah diskusi di Winda Studio Coffe Dolok Sanggul, baru-baru ini.
Sesuai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2019, bahwa program dan jadwal penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak dilakukan 23 September 2020.
Namun karena bencana non-alam Corona Virus Disease-19 (Covid-19) yang melanda seluruh Negri, Pilkada serentak ditunda menjadi 09 Desember 2020.
Hal tersebut dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 yang beberapa kali dirubah dan terakhir dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 2 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Dalam tahapan Pilkada serentak lanjutan 2020, secara teknis diatur dalam PKPU Nomor 5 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas PKPU Nomor 15 tentang tahapan, jadwal dan program penyelenggaraan Pilkada gubernur, Bupati dan Walikota.
Mencegah penyebaran Covid-19, pelaksanaan Pilkada diatur dalam PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang pelaksanaan Pilkada serentak lanjutan dalam kondisi bencana non-alam Covid-19.
Kotak kosong untuk Pilkada 2020, sejatinya bukan lagi hal yang baru. Pada Pilkada serentak Tahun 2015, 2017, dan 2018 kotak kosong sudah muncul menjadi pesaing di beberapa daerah. Bahkan di kota Makassar, kotak kosong menang atas paslon tunggal.
Mengapa Pilkada kotak kosong muncul dan mewarnai pesta Demokrasi. Setidaknya, ada empat faktor yang menyebabkan hal tersebut.
Pertama, regulasi Pilkada dalam bentuk Undang-undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 terlampau berat mengatur syarat pengajuan paslon, baik bagi parpol dan gabungan parpol, maupun bagi kandidat perseorangan.
Untuk mengajukan paslon, parpol dan/atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen kursi DPRD atau 25 persen akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPRD setempat.
Mengingat perolehan suara parpol dalam pemilu legislatif di daerah sangat fragmentatif, tidak mudah bagi parpol mengajukan paslon secara sendiri tanpa berkoalisi dengan parpol lain.
Sementara itu, bagi calon perseorangan, mereka yang berminat bersaing dalam pilkada harus memenuhi persentase syarat dukungan yang sangat berat, yakni 6,5 hingga 10 persen dari jumlah penduduk yang termuat dalam DPT Pemilu terakhir.
Dari 129 ribu lebih DPT Humbahas dalam Pemilu 2019 lalu, diwajibkan memiliki sekurang-kurangnya 10 persen dukungan yang dibuktikan dengan surat dukungan disertai fotocopy kartu tanda penduduk yang akan diverifikasi oleh KPU.
Kedua, tingginya mahar politik yang harus disetor paslon kepada Parpol agar bisa diusung dalam Pilkada.
Meskipun jajaran Parpol kerap membantah mahar ini, namun hal ini bukan lagi rahasia umum. Karena dalam realitasnya praktik keharusan setor mahar politik ini membuat para tokoh terbaik daerah enggan maju bersaing dalam Pilkada.
Ketiga, Parpol tidak lagi memberikan pendidikan politik yang sehat yang menjunjung nilai Demokrasi.
Dan keempat, gagal dan mandeknya kaderisasi parpol. Pada umumnya parpol di negeri ini bukan hanya tidak menjadikan kaderisasi sebagai basis perekrutan politik, melainkan juga kaderisasinya sendiri tidak berjalan.
Akibatnya, sebagian partai lebih memilih jalan pintas dan pragmatis, yakni menunggu permohonan rekomendasi dari figur publik yang ingin maju dalam Pilkada.
Parpol tidak bekerja dalam pengertian yang sesungguhnya sehingga para elite Parpol akhirnya hanya ”memperjual-belikan” otoritas sebagai pemberi rekomendasi bagi setiap paslon yang hendak berkompetisi dalam Pilkada.
Ini tentu sebuah ironi di tengah begitu tingginya ekspektasi publik atas peningkatan kualitas demokrasi.
Empat faktor di balik munculnya kotak kosong di atas, pada gilirannya berdampak pada dua kecenderungan.
Pertama, terbatasnya peluang bagi tokoh-tokoh masyarakat yang kompeten, tetapi tak berpartai dan tak memiliki modal finansial untuk menyetor mahar politik sehingga proses pencalonan dalam Pilkada akhirnya berlangsung secara oligarkis.
Kedua, terbukanya peluang bagi siapa pun yang memiliki modal finansial serta menguasai sumber daya sosial, ekonomi dan politik yang memadai untuk “memborong” dukungan Parpol, sehingga kian memperkecil munculnya pesaing dalam Pilkada.
Secara teori, kompetisi demokratis yang sehat melalui Pemilu dan Pilkada meniscayakan hadirnya lebih dari satu kandidat yang bersaing.
Itu artinya, semakin banyak jumlah daerah yang menyelenggarakan Pilkada dengan paslon tunggal, merefleksikan ada sesuatu yang salah dalam proses kompetisi demokratis Pilkada.
Secara aturan, Pilkada kotak kosong memang diakui undang-undang. Namun dalam situasi demikian, kepentingan dan hak publik dikorbankan, padahal tujuan akhir dari sistem demokrasi adalah mewadahi dan memenuhi aspirasi publik itu sendiri.
Oleh karena itu, pemerintah dan partai-partai di DPR sebagai pembentuk UU perlu memikirkan ulang berbagai pengaturan pencalonan pilkada yang tak hanya membatasi peluang munculnya calon-calon pemimpin terbaik di daerah, tetapi justru lebih memfasilitasi dominasi oligarki dalam proses kandidasi Pilkada.
Di sisi lain, sudah saatnya negara mewajibkan parpol kita menjadikan kaderisasi sebagai basis perekrutan politik agar parpol tidak sekadar memperjualbelikan surat rekomendasi bagi paslon dalam pilkada, tetapi juga benar-benar menjadi institusi demokrasi yang melahirkan para pemimpin politik di tingkat nasional dan daerah.
Itu artinya, selain keniscayaan revisi UU Pilkada, perlu revisi Undang-undang Parpol, agar fenomena pilkada kotak kosong tak mencederai demokrasi ke depan.
Selain itu, revisi Undang-undang Parpol perlu agar kepemilikan Parpol oleh sejumlah individu secara oligarkis diakhiri, sehingga kedaulatan Parpol bisa dikembalikan kepada mereka yang menjungjung tinggi nilai demokrasi. (*)
Penulis: Andi Siregar