SNT – Belakangan ini sejumlah partai politik, seperti PDIP, Golkar, PKB, hingga Partai Demokrat, mulai ramai-ramai memasang baliho ketum hingga kadernya untuk proyeksi Pilpres 2024.
Baliho masih menjadi pilihan partai politik di Indonesia untuk memperkenalkan para elite hingga kader partai.
Lantas, masih efektifkah baliho yang dipasang tersebut di tengah kondisi Indonesia yang sudah mulai masuk era digital?
Hal tersebut dijelaskan oleh pakar politik dari CSIS, Arya Fernandes. Awalnya Arya menjelaskan terkait penetrasi digital secara nasional di Indonesia yang masih berada pada kisaran 35-40 persen.
“Penetrasi digital itu secara nasional itu masih di kisaran 35-40 persen orang yang punya akses ke digital, itu maksudnya terkoneksi dengan internet. Di tingkat populasi akses publik terhadap digital atau terhadap internet belum tinggi, masih di kisaran 35-40 persen,” kata Arya, Kamis (5/8/2021).
Arya mengatakan, 35-40 persen pengguna digital atau internet itu juga hanya pada masyarakat yang berada di kota-kota urban.
Selain itu lanjutnya, yang mendominasi populasi 35-40 persen itu juga merupakan kaum milenial atau generasi Z.
“Jumlah 35-40 persen itu umumnya terkonsentrasi di kota-kota urban ya, kota-kota ya, di daerah daerah lural atau pedesaan yang karakter pedesaan itu sebagian besar orang belum terkoneksi internet dan digital. Selanjutnya populasi sekitar 30-40 persen populasi yang terkoneksi internet umumnya juga didominasi oleh kalangan muda, anak anak milenial atau generasi Z,” tuturnya.
Atas dasar kondisi itulah, Arya menyebut partai politik akhirnya masih mengandalkan baliho sebagai alat peraga kampanye.
Katanya, baliho mampu menjangkau hingga ke daerah-daerah yang masyarakatnya belum terjamah oleh internet.
“Nah, situasi digital seperti itulah yang membuat akhirnya partai masih memilih cara tradisional, cara lama, yaitu mempopulerkan diri atau memperkenalkan diri ke masyarakat lewat baliho. Kenapa baliho? Karena dapat menjangkau daerah-daerah lural dan populasi yang orangnya nggak punya akses internet gitu,” jelas dia.
Namun yang menjadi pertanyaan, efektifkah baliho? Arya menjelaskan efektivtas baliho bergantung pada pihak yang memasang.
Dia menyebut memang tidak cukup hanya dengan memasang baliho lalu masyarakat akan memilih.
“Nah, sekarang pertanyaannya tadi, apakah masih efektif? Orang ketika lihat baliho itu mereka belum tentu akan memilih. Jadi ada beberapa yang harus disiapkan oleh partai, kader partai, atau capres untuk dapatkan manfaat supaya balihonya efektif gitu ya,” katanya.
Dia menyebut efektivitas baliho bergantung pada pesan yang berada pada baliho. Selain itu, target baliho hingga cara mengemas sampai penempatan baliho juga akan mempengaruhi efektivitas baliho.
“Efektivitas baliho dalam hal mempengaruhi pemilih ditentukan oleh apa pesan yang ingin disampaikan, apakah pesan menarik bagi publik? Jadi isu di publik apa nggak? Apa jadi concern publik atau nggak? Jadi kebutuhan publik atau nggak? Itu narasinya, pesannya. Kedua, siapa segmennnya yang ingin disasar, apa anak muda? Petani? Nelayan? Buruh? Pedagang? Ketiga, gimana mengemasnya? Packaging juga penting, desain mungkin, penempatan mungkin,” paparnya.
Namun Arya menyebut kampanye dengan menggunakan media sosial juga tetap penting dilakukan.
Selain berbiaya murah, menurutnya, kampanye di media sosial mampu menjangkau masyarakat hingga ke seluruh Indonesia.
“Dalam kompetisi yang ketat, misal kandidat A dan kandidat B ketat nih, itu social media, internet jadi penting. Dan kampanye digital itu berbiaya murah juga dibandingkan baliho. Kalau baliho, orang harus biaya cetak, biaya pasangnya, biaya jaganya supaya nggak diturunin orang. Kalau internet, orang anytime, kapan pun di mana pun dia mau beriklan atau berkampanye di medsos gratis gitu dan coverage-nya juga lebih luas se-Indonesia, makanya kampanye di masa depan kalau koneksi sudah meningkat, kampanye masa depan itu ya kampanye digital,” Arya mengakhiri keterangannya. (dtc/snt)