Sibolga – Ramainya pembahasan terkait utang Indonesia ke luar negeri yang menyatakan sudah dalam posisi gawat mendapat tanggapan yang berbeda dari Bank Indonesia (BI).
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengungkapkan, utang pemerintah Indonesia hanya sekitar 28% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) dan dalam kategori sangat sehat.
Sedangkan utang luar negeri gabungan pemerintah dengan swasta hanya 35% dari PDB Indonesia, dan itu adalah jumlah yang kecil.
Menurutnya, sesuai ketentuan Undang-undang Keuangan Negara, batas utang yang diperbolehkan pemerintah maksimalkan 60% dari total PDB.
“Sementara saat ini rasio utang hanya 28% dari total PDB dalam kategori sangat sehat, sehingga tidak perlu adanya kekhawatiran pemerintah tidak mampu membayar utang itu,” ujar Mirza Adityaswara kepada wartawan, usai mengikuti diskusi publik di Graha Aulia BI Sibolga, Jumat 7 September 2018.
Meski demikian, banyak juga negara yang utangnya jauh lebih besar dari PDB. Jepang misalnya memiliki besaran utang hampir 300% dari PDB, dan Amerika Serikat berutang sekitar 100% dari PDB.
“Jadi ngutang itu boleh dan diperkenankan Undang-undang Keuangan Negara, dengan catatan tidak boleh lebih besar dari kemampuan membayar,” tambahnya.
Hanya saja, saat ini kondisi Indonesia menghasilkan valuta asing masih lemah, karena untuk membayar utang itu harus menggunakan valuta asing. Memang BI punya cadangan devisa 6,3 kali dari impor dan pembayaran utang.
Alangkah baiknya cadangan devisa tidak dipakai, karena masih bisa memanfaatkan sektor lain di dalam negeri untuk dikelola dengan baik.
Semisal membangun industri yang mampu menyerap CPO untuk biosolar (B-20), sehingga tidak perlu tergantung dari produk luar negeri yang membelinya menggunakan valuta asing.
Kemudian membangun sektor pariwisata Indonesia dan kerajinan tangannya untuk mendulang wisatawan datang ke Indonesia.
“Dengan hal ini maka Indonesia akan bisa menghasilkan valuta asing lebih besar lagi,” sebut Mirza.
Ia kemudian mencontohkan bagaimana kondisi Indonesia, Malaysia dan Thailand pada 1997 yang sama-sama dihantam krisis dan devisit.
Namun sekarang Thailand sudah surplus. Thailand mampu mendorong ekspor mereka seperti ekspor mobil dan juga buah-buahan. (SNT)